Mengenang Jelita

Jumat, 14 Desember 2012



Untuk wanita yang teraniaya oleh perasaan, tiga tahun lamanya tidakkah kau muak untuk menahanya wahai  jelita?, binar-binar itu mungkinkah kesakitan ataukah kerinduan, lalu menurutmu apakah semuanya begitu indah? Aku ingin kau menjawabnya wahai jelita.

Maafkan aku telah membiarkanmu menjadi kelabu, ruangan kecil itu dengan harumya asap rokok mengubah kita seakan bermahkota, aku raja kamu ratu dan adik kecilmu itu pangeran. Cerita itu terjadi hanya tujuh jam dan aku pergi melihat dirimu tersipu pilu dengan airmata yang tak tertahan.

Aku tau kamu sadar kepergianku bukan untuk berperang , tetapi sengaja untuk menjauh darimu, ingin rasanya memelukmu sekali lagi. Wahai jelita.. tiga tahun ini aku kubur rasa rinduku terhadapmu, ini bukan berlebihan tetapi beginilah keadaanya. Mengapa begitu sulit untuk melanjutkan cerita kita sampai berabad-abad lamanya. Andai semuanya berbeda, malam ini akan ku ucapkan” semoga mimpi indah wahai jelita. Terimakasih telah membuat goresan kecil kebahagiaan di hidupku. Terimakasih telah berjuang melawan rasa sakit, terimaksih keseribu kalinya telah berusaha mengenal aku selama tiga tahun.
Untuk kamu “ayu evandari”

Dua Mawar


Jejali  aku buah simalakama agar aku bisa berfikir, tentang hawa-hawa yang mengeluarkan airmata juga tentang dua mawar yang layu.
Apakah kalian tahu Memerdekakan keputusan ini ternyata lebih sulit daripada membuat tersenyum budak di padang pasir.
Apalah ini, tercampur seperti kopi dan abu rokok, Meminumnya pun enggan. Hati yang kelaparan akan ketenangan, kesunyian sepi di belantara pinus-pinus yang kokoh dan harum, mungkinkah ketidakjelasan  adalah akar dari ranting rumit berserabut ini. Ataukah ketidakpastian yang harus disalahkan?, sungguh semuanya salah, karena kecerobohan adalah mafianya.

 Hati yang salah atau perasaan yang serakah, semuanya menggumpal.aku ingin terlahir kembali menjadi aku yang baru atau bahkan jangan lahirkan saja aku, kiranya itu lebih baik.
 Kau yang disana bawa aku ke nirwanamu,tunjukkan sebuah keindahan yang abadi, suci dengan seribu bidadari, aku sudah lelah menapaki dua minggu ini, tertatih! Hanya senyuman palsu  yang bisa aku pamerkan. Bahkan kebangsatan telah memeluk tubuh seorang laki-laki yang telah memberi rasa sakit untuk dua mawar yang di sayanginya.

Kalian terlalu suci untuk memaki, biar cacian dan makian itu aku ucapkan untuk diriku sendiri.  Sebuah diri yang ditumbuhi pohon penyesalan.
Sebuah diri yang penuh rasa bersalah.
Sebuah diri yang bermahkotakan kebodohan
Dan Sebuah diri yang disapa kegelapan.


Bandung mendung



kedatanganku kali ini di tanah pasundan di sambut gemerlap keagungan tahun baru islam.Semerbak wewangian menyatu dengan bau hujan yang suci, merekapun berkumpul di lapangan gazibu.Terlihat seorang santri yang begitu alim dan menyimpan suatu kebesaran atas segalanya, panji berwarna hijau tua dengan nyaman dia pegang di tangan kanannya , sejalan kemudian aku lihat ratusan santri dengan baju kokoh bawahan sarung tenun, kopiah songkok hitampun  melekat di kepala bagai mahkota, sungguh cirikhas muslimin negeri ini. Negeri antah berantah menurut orang tetapi sungguh menakjubkan negeri yang satu ini, bukan apa-apa merekalah yang membuat aku takjub, karena mereka para nahdiyyin.

Adapun mereka berkumpul seakan waktu kembali berbalik beberapa tahun kebelakang saat aku adalah aku. Saat keindahan musholla adalah pemandangan hari-hariku. Gemuruh anak anak tak berdosa membaca al-quran. Panggung tabligh akbar, aku yang duduk dengan teman seperjuangan dengan pakaian seragam yang merupakan  jubah teristimewa saat itu.

Aku yakin muka ini berseri begitupun para orang tua yang melihat anaknya di atas panggung kesempurnaan ini. Tak terkecuali oarang tuaku, terutama ayah yang sempat tersenyum padahal aku tau dia begitu dingin, itulah saat terindah.

Kenangan itupun hanyut begitu saja dalam lamunanku tersapu dinginya angin berdesir, memang bandung sehabis hujan malam itu. Ataupun malah tersapu oleh kelakuanku saat ini yang penuh dengan kebodohan tanpa mengenal apa itu dosa. Kini aku yang berteman dengan kemaksiatan kini aku yang terlanjur jatuh di dalam kegelapan.

 Demi rasa dingin ini aku ingin kembali hangat seperti dulu, demi air mata ini aku ingin merubahnya menjadi senyuman. Demi kesalahan ini Tuhan mohon ampuni.